Senin, 28 April 2014

makalah etika bisnis islami

Etika Kerja dalam Bisnis Islami
Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur
Dalam Mata Kuliah Etika Bisnis Islami
Dosen pengampu : Bapak Drs. H. Ahmad Dasuki Aly, MM


Disusun Oleh:
Amaliyanah ( 14122210929)
R.Dini Kusuma Anggraeni N. (14122210xxx)

Kelompok 7
MEPI 2 / SEMESTER 4
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
JalanPerjuanganBy Pass Sunyaragi Cirebon - Jawa Barat 45132
2014

BAB I
PENDAHULUAN

Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja ini.
Dalam suatu ungkapan dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja.”
Nyatanya kita kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru berlawanan dengan ungkapan-ungkapan tadi. Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etika kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Etika Kerja
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial. Jadi, pengertian Etika Kerja adalah semangat kerja yg menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok.
Etika berasal dari bahasa Yunani yang berarti sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai bekerja. Sedangkan Etika Kerja Muslim dapat didefinisikan sebagai cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja tidak hanya bertujuan memuliakan diri, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh dan mempunyai nilai ibadah yang luhur.
Etika Kerja merupakan totalitas kepribadian diri serta cara mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan sesuatu yang bermakna, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high performance).
Etika Kerja Muslim didefenisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh. Sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah yang didera kerinduan untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat dipercaya, menampilkan dirinya sebagai manusia yang amanah, menunjukkan sikap pengabdian sebagaimana firman Allah, “Dan tidak Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”, (QS. Adz-Dzaariyat : 56).
Bekerja adalah fitrah dan merupakan salah satu identitas manusia, sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah SWT.
Apabila bekerja itu adalah fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang enggan bekerja, malas dan tidak mau mendayagunakan seluruh potensi diri untuk menyatakan keimanan dalam bentuk amal kreatif, sesungguhnya dia itu melawan fitrah dirinya sendiri, dan menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia.
Setiap muslim selayaknya tidak asal bekerja, mendapat gaji, atau sekedar menjaga gengsi agar tidak dianggap sebagai pengangguran. Karena, kesadaran bekerja secara produktif serta dilandasi semangat tauhid dan tanggung jawab merupakan salah satu ciri yang khas dari karakter atau kepribadian seorang muslim. 
Tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk menjadi pengangguran, apalagi menjadi manusia yang kehilangan semangat inovatif. Karena sikap hidup yang tak memberikan makna, apalagi menjadi beban dan peminta-minta, pada hakekatnya merupakan tindakan yang tercela.
Seorang muslim yang memiliki etika kerja adalah mereka yang selalu obsesif atau ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat yang merupakan bagian amanah dari Allah.
Abu Hamid memberikan pengertian bahwa etika adalah sifat, karakter, kualitas hidup, moral dan gaya estetika serta suasana hati seseorang masyarakat. Kerja adalah suatu aktivitas yang menghasilkan suatu karya. Karya yang dimaksud, berupa segala yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan, dan selalu berusaha menciptakan karya-karya lainnya.[1]

B.     Landasan filosofis dalam etika kerja
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu.
Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etika ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam etika tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna. (An-Naml : 88). Etika kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etika jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)
Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah.
KH. Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh asset dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa dengan bekerja manusia memanusiakan dirinya.
Lebih lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
Di dalam kaitan ini, al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja positif dan negatif. Di dalam al-Qur’an banyak kita temui ayat tentang kerja seluruhnya berjumlah 602 kata, bentuknya :
1.      Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2.      Kata ‘amal (perbuatan) kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-Fathir: 10.
3.      Kata wa’amiluu (mereka telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat al-Ahqaf: 19 dan an-Nur: 55.
4.      Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti dalam surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5.      Kita temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhum, a’maalun, a’maluka, ‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah. Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8, dan at-Tur: 21.
6.      Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti dalam surat al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.
7.      Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat yang mengandung anjuran dengan istilah seperti shana’a, yasna’un, siru fil ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya ayat-ayat tentang perintah berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari iman, pembukti bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT berfirman:
“…barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh…” (Al-Kahfi: 110)
Ada juga ayat al-Qur’an yang menunjukkan pengertian kerja secara sempit misalnya firman Allah SWT kepada Nabi Daud As.
“ Dan Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu…” (al-Anbiya: 80)
Dalam surah al-Jumu’ah ayat 10 Allah SWT menyatakan :
“ Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (al-Jumu’ah: 10)
Pada hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan empat macam pekerja :
1.      al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
2.      al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu perusahaan dan pegawai negeri.
3.      al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli seperti pedagang keliling.
4.      al-Muzarri’un: para petani.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum kering keringat-keringatnya. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan : “Besar gaji disesuaikan dengan hasil kerja.” Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak.
C.    Hak & Kewajiban Karyawan Kepada Perusahaan
Karyawan juga mempunyai kewajiban terhadap perusahaan, yang berupa:[2]
1.      Kewajiban ketaatan
Karyawan harus taat kepada atasannya, karena ada ikatan kerja antara keduanya. Namun tentunya taat disini bukan berarti harus selalu mematuhi semua perintah atasan, jika perintah tersebut dianggap tidak bermoral dan tidak wajar, maka pekerja tidak wajib mematuhinya.
2.      Kewajiban Konfidensialitas
Kewajiban untuk menyimpan informasi yang sifatnya sangat rahasia. Setiap karyawan di dalam perusahaan, terutama yang memiliki akses ke rahasia perusahaan seperti akuntan, bagian operasi, manajer, dan lain lain memiliki konsekuensi untuk tidak membuka rahasia perusahaan kepada khalayak umum. Kewajiban ini tidak hanya dipegang oleh karyawan tersebut selama ia masih bekerja disana, tetapi juga setelah karyawan tersebut tidak bekerja di tempat itu lagi. Sangatlah tidak etis apabila seorang karyawan pindah ke perusahaan baru dengan membawa rahasia perusahaannya yang lama agar ia mendapat gaji yang lebih besar.[3]
3.      Kewajiban Loyalitas
Konsekuensi lain yang dimiliki seorang karyawan apabila dia bekerja di dalam sebuah perusahaan adalah dia harus memiliki loyalitas terhadap perusahaan. Dia harus mendukung tujuan-tujuan dan visi-misi dari perusahaan tersebut. Karyawan yang sering berpindah-pindah pekerjaan dengan harapan memperoleh gaji yang lebih tinggi dipandang kurang etis karena dia hanya berorientasi pada materi belaka. Ia tidak memiliki dedikasi yang sungguh-sungguh kepada perusahaan di tempat dia bekerja. Maka sebagian perusahaan menganggap tindakan ini sebagai tindakan yang kurang etis bahkan lebih ekstrim lagi mereka menganggap tindakan ini sebagai tindakan yang tidak bermoral.
4.      Melaporkan kesalahan perusahaan [4]
Karena  bekerja  pada suuatu perusahaan ,karyawan bisa mengetahui banyak hal mengenai perusahaannya yang tidak diketahui oleh orang lain, bukan saja hal-hal yang bersifat rahasia (trade secrets) tetapi juga praktek-praktek yang tidak etis. Didalam pelaporan kesalahan perusahaan yaitu dengan cara whistle blowing yang artinya menarik perhatian dunia luar dengan melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah organisasi ataupun perusahaan. Misal whistle blowing internal, disini karyawan dapat melaporkan kesalahan perusahaan dengan melapor kepada atasannya langsung didalam perusahaan tersebut. Whistle blowing eksternal, contoh disini suatu karyawan melaporkan bahwa perusahaannya tidak memenuhi konstribusinya kepada Jamsostek atau tidak membayar pajak melalui instansi diluar perusahaan entah itu instansi pemerintah atau kepada masyarakat melalui media komunikasi.
Pelaporan dapat dibenarkan secara moral apabila lima syarat berikut terpenuhi :
ΓΌ  Kesalahan perusahaan harus besar
ΓΌ    Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar
ΓΌ  Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian pihak ketiga bukan karena motif  lain
ΓΌ  Penyelesaian masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalahan perusahaan dibawa keluar
ΓΌ  Harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukse


D.    Hak & kewajiban perusahaan terhada karyawan[5]

1.      Tidak bertindak diskriminatif
Selain membebani karyawan dengan berbagai kewajiban terhadap perusahan, suatu perusahaan juga berkewajiban untuk memberikan hak-hak yang sepadan dengan karyawan. Perusahaan hendaknya tidak melakukan praktik-praktik diskriminasi dan eksploitasi terhadap para karyawannya. Perusahaan juga harus memperhatikan kesehatan para karyawannya, serta perusahaan hendaknya tidak berlaku semena-mena terhadap para karyawannya.
Ada beberapa alasan mengapa diskriminasi dianggap tidak pantas di dalam perusahaan. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah :
1        Diskriminasi bisa merugikan perusahaan itu tersendiri, karena perusahaan tidak berfokus pada kapasitas dan kapabilitas calon pelamar, melainkan pada faktor-faktor lain diluar itu. Perusahaan telah kehilangan kemampuan bersaingnya karena perusahaan tersebut tidak diisi oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya.
2         Diskriminasi juga melecehkan harkat dan martabat dari orang yang didiskriminasi.
3        Diskriminasi juga tidak sesuai dengan teori keadilan. Terutama keadilan distributif.
Lawan kata dari diskriminasi adalah favoritisme. Favoritisme berarti mengistimewakan seseorang dalam menyeleksi karyawan, menyediakan bonus, dan sebagainya. Meskipun berbeda jauh dengan diskriminasi, favoritisme tetap dipandang tidak adil karena memperlakukan orang lain secara tidak merata. Namun di dalam hal-hal tertentu, favoritisme masih dapat ditolerir seperti dalam pengelolaan took kecil dan tempat-tempat peribadatan. Favoritisme tidak dapat ditolerir lagi di dalam pemerintahan dan perusahaan-perusahaan besar yang membutuhkan ketrampilan dan kemampuan yang lebih terhadap para pegawainya. Prinsip ini juga bertentangan dengan prinsip birokrasi yang dikemukakan oleh Max Weber.
Perusahaan hendaknya juga mendistribusikan gaji secara adil terhadap seluruh karyawannya. Hendaknya perusahaan tidak hanya menggunakan evaluasi kinerja saja untuk menentukan gaji para karyawannya, tapi akan lebih etis lagi apabila perusahaan juga ikut memperhitungkan berapa kepala yang bergantung pada sang karyawan tersebut.

2.      Penjaminan kesehatan & keselamatan kerja, pemberian gaji atau konvensasi secara adil
-          Penjaminan kesehatan & keselamatan kerja
Selain hak-hak diatas, dalam bisnis modern sekarang ini semakin dianggap penting bahwa para pekerja dijamin keamanan, keselamatan, dan kesehatannya. Lingkungan kerja dalam industri modern khususnya yang penuh dengan berbagai risiko tinggi mengharuskan adanya jaminan perlindungan atas keamanan, keselamatan dan kesehatan bagi para pekerja. Beberapa hal yang perlu dijamin dalam kaitan dengan hak atas keamanan, keselamatan, dan kesehatan ini. Pertama, setiap pekerja berhak mendapat perlindungan atas keamanan, keselamatan dan kesehatan melalui program jaminan atau asuransi keamanan dan kesehatan yang diadakan perusahaan itu.
 Kedua, setiap pekerja berhak mengetahui kemungkina resiko yang akan dihadapinya dalam menjalankan pekerjaannya dalam bidang tertentu dalam perusahaan tersebut. Karena itu, perusahaan harus memberikan informasi serinci mungkin tentang kemungkinan-kemungkinan risiko, bentuk, dan lingkupnya serta kompensasi (bentuk dan jumlahnya) yang akan diterimanya atau keluarganya harus sudah diketahui sejak awal. Ini perlu untuk mencegah perselisihan untuk mencegah kemungkinan perusahaan dituntut oleh pekerja dan keluarganya, juga di maksudkan untuk mencegah pekerja dicurangi dalam pemberian kompensasi tersebut.
Ketiga, setiap pekerja bebas untuk memilih dan menerima pekerjaan dengan resiko yang sudah diketahuinya itu atau sebaliknya menolaknya.Dengan kata lain, pekerja tidak boleh dipaksa atau terpaksa untuk melakukan suatu pekerjaan penuh resiko.Karena itu, setelah dia mengetahui resiko dan kompensasinya, ia harus secara terbuka menerima atau menolaknya tanpa paksaan apa pun.

-          Pemberian gaji atau konvensasi secara adil
Perusahaan hendaknya juga mendistribusikan gaji secara adil terhadap seluruh karyawannya. Hendaknya perusahaan tidak hanya menggunakan evaluasi kinerja saja untuk menentukan gaji para karyawannya, tapi akan lebih etis lagi apabila perusahaan juga ikut memperhitungkan berapa kepala yang bergantung pada sang karyawan tersebut.
 Hak atas upah yang adil merupakan hak legal yang diterima dan dituntut seseorang sejak ia mengikat diri untuk bekerja pada suatu perusahaan. Karena itu, perusahaan yang bersangkutan mempunyai kewajiban untuk memberikan upah yang adil. Dengan hak atas upah yang adil sesungguhnya ditegaskan dalam tiga hal. Pertama, bahwa setiap pekerja mendapatkan upah. Artinya, setiap pekerja berhak mendapatkan upah.
Kedua, setiap orang tidak hanya berhak memperoleh upah. Ia juga berhak untuk memperoleh upah yang adil, yaitu upah yang sebanding dengan tenaga yang telah disumbangkannya. Ketiga, hak atas upah yang adil adalah bahwa pada prinsipnya tidak boleh ada perlakuan yang berbeda atau diskriminatif dalam soal pemberian upah kepada semua karyawan.

E.     Kebutuhan timbal balik karyawan dan perusahaan
Hak merupakan topik yang masih agak baru dalam literature etika umum. Sebaliknya pembahasan tentang kewajiban mempunyai tradisi yang sudah lama sekali. Dalam buku etika sejak dulu banyak dibicarakan tentang kewajiban terhadap Tuhan, agama, raja/penguasa, negara atau kelompok khusus dimana orang menjadi anggota (keluarga, kalangan profesi, dan sebagainya).
Ada seorang filosof yang berpendapat bahwa selalu ada hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban. Pandangan yang disebut “teori korelasi” itu terutama dianut oleh pengikut utilitarisme. Menurut mereka, setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain dan sebaliknya setiap hak seseorang berkaitan dengan kewajiban orang lain untuk memenuhi hak tersebut. Mereka berpendapat bahwa dapat berbicara tentang hak dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi. Hak yang tidak ada kewajiban sesuai tidak pantas disebut ” hak “.[6]
Karena hubungan antara tenaga kerja dan perusahaan merupakan hubungan timbal-balik maka ketika salah satu pihak mengerjakan kewajiban mereka maka hak pihak lainnya akan terpenuhi, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu pada tulisan kali ini hanya akan memberikan penjabarkan kewajiban kedua belah pihak, yang mana jika kewajiban-kewajiban itu dilaksanakan maka hak masing-masingpun akan terpenuhi.[7]
Konsekuensi lain yang dimiliki seorang karyawan apabila dia bekerja di dalam sebuah perusahaan adalah dia harus memiliki loyalitas terhadap perusahaan. Dia harus mendukung tujuan-tujuan dan visi-misi dari perusahaan tersebut. Karyawan yang sering berpindah-pindah pekerjaan dengan harapan memperoleh gaji yang lebih tinggi dipandang kurang etis karena dia hanya berorientasi pada materi belaka. Ia tidak memiliki dedikasi yang sungguh-sungguh kepada perusahaan di tempat dia bekerja. Maka sebagian perusahaan menganggap tindakan ini sebagai tindakan yang kurang etis bahkan lebih ekstrim lagi mereka menganggap tindakan ini sebagai tindakan yang tidak bermoral.
Terakhir, perusahaan hendaknya juga tidak bertindak semena-mena dalam mengeluarkan karyawan.
-          Perusahaan hanya boleh memberhentikan karyawan karena alasan yang tepat.
-          Perusahaan harus berpegang teguh pada prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya.
-          Perusahaan harus membatasi akibat negative bagi karyawan sampai seminimal mungkin.


BAB III
KESIMPULAN
Etika Kerja merupakan totalitas kepribadian diri serta cara mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan sesuatu yang bermakna, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high performance).
Etika Kerja Muslim didefenisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh.
Hak dan kewajiban karyawan kepada perusahaan meliputi :
1.      Kewajiban ketaaatan
2.      Kewajiban konfidensialitas
3.      Kewajiban Loyaitas
4.      Melaporkan kesalahan perusahaan
Hak dan kewajiban perusahaan terhadap karyawan, meliputi :
1.      Tidak bertindak diskriminatif
2.      Penjaminan kesehatan dan keselamatan kerja
3.      Pemberian gaji (kompensasi) secara adil
Kebutuhan timbal balik karyawan dan perusahaan selalu ada hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban. setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain dan sebaliknya setiap hak seseorang berkaitan dengan kewajiban orang lain untuk memenuhi hak tersebut. Mereka berpendapat bahwa dapat berbicara tentang hak dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi. Hak yang tidak ada kewajiban sesuai tidak pantas disebut ” hak “.Karena hubungan antara tenaga kerja dan perusahaan merupakan hubungan timbal-balik maka ketika salah satu pihak mengerjakan kewajiban mereka maka hak pihak lainnya akan terpenuhi, begitu juga sebaliknya.



DAFTAR PUSTAKA
·         Ernawan , Erni R, Business Ethics,Bandung:Alfabeta,2007
·         Bertens K., Etika,Jakarta: PT. Gramedia Pustaka 1992
·         Http://hak-kewajiban-karyawan perusahaan.html
·         Keraf, A. Sonny, Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi,Yogyakarta: Kanisius, 1997




[2] Erni R. Ernawan, Business Ethics,Bandung:Alfabeta,2007 Hal 69
[3] Http://hak-kewajiban-karyawan perusahaan diunduh pada tanggal 28/02/2014 pukul 14:55

[5] A. Sonny Keraf, Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi,Yogyakarta: Kanisius, 1997

[6] K. Bertens, Etika,Jakarta: PT. Gramedia Pustaka 1992, Hal 192-193
[7] Http://hak-kewajiban-karyawan perusahaan diunduh pada tanggal 28/02/2014 pukul  13:00