MAKALAH
اَلْعَادَةُ
مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah Qawaid Fiqhiyah
Tahun Akademik 2013/2014
Dosen Pengampu : Bapak Ibi Syatibi, M.SI
Disusun oleh:
AMALIYANAH
NIM.
14122210929
Fakultas Syari’ah/
Muamalah-2/ Semester 3
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
Jl. Perjuangan By.
Pas Sunyaragi Kota Cirebon Tlp. 0231 481264
BAB
I
PENDAHULUAN
Qawaidul
fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu
kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari
kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul
fiqhiyah. Qowaidh fiqhiyah mempunya beberapa induk qaidah. Dalam
makalah ini kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan salah satu induk dari
kaidah-kaidah fiqh yang kelima yaitu Al ‘aadah Muhakkamah (Adat itu bisa
menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari
Kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat dapat
dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hokum dengan melihat sifat dari
hukum itu sendiri yang senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan nilai-nilai
yang berkembang di dalam masyarakat.
Kaidah tentang
al-’adah al-Muhakkamah. Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh)
adalah suatu hukum kully (menyeluruh) yang mencakup semua bagian-bagiannya. Qawa’id
fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah, salah satu kaidah fiqh yaitu al-‘adah
al-muhakkamah (adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum)
yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam
masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai
dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Dengan
menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai
fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan
lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk
kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih
moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan
lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan
berkembang dalam masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kaidah Al-‘Adah
Muhakkamah
اَلْعَادَةُ
مُحَكَّمَةٌ
“Adat
kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Yang dimaksud
dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk
mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat
bisa dijadikan pijakan hukum. Oleh karena itu, sebelum mengurai kaidah ini,
perlu diketahui terlebih dahulu tentang adat.
Secara bahasa,
al-'adah diambil dari kata al-'awud ( العود ) atau al-mu'awadah
( المؤدة) yang artinya berulang ( التكرار ). Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah terbiasa
dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang
baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat.
Adapun definisi
al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah :
عبا رة عما يستقر فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة
عند الطباع السليمة
“Sesuatu ungkapan
dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa
diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”.[1]
Dalam pengertian
dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-'adah, yaitu
al-'urf, yang secara harfiyah berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau
ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya
atau meninggalkannya.[2]
االعرف هو ما تعا رف عليه الناس واعتده فى
اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan
mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut
menjadi biasa dan berlaku umum"
Dari dua definisi
di atas, ada unsur berulang-ulang dilakukan dan dalam al-‘urf ada unsur
(al-ma’ruf) dikenal sebagai sesuatau yang baik. Kata-kata al-‘urf ada
hubungannya dengan tata nilai di masyarakat yang dianggap baik. Tidak hanya
benar menurut keyakinan masyarakat tetapi juga baik untuk dilakukan dan
diucapkan. Hal ini erat kaitannya dengan “al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an
al-munkar” dalam Al-Qur’an. Tampaknya lebih tepat apabila al-‘adah atau al-‘urf
ini didefinisikan dengan: “apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara
umum (al-‘adah ‘al-‘ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Dengan demikian
al-'adah atau al-urf yang dapat dikatagorikan muhakkamah adalah budaya atau
tradisi atau kebiasaan dari sesuatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan
yang memiliki 3 (tiga) ciri, yaitu :
1. Dianggap baik melakukan atau
meninggalkannya oleh manusia secara umum;
2. Dilakukan atau
ditinggalkannya secara terus-menerus dan berulang-ulang; dan
3. Tidak bertentangan dengan
Al-Qur'an dan As-Sunnah
Adapun Prof. Dr. H.
Rachmat Syafe'i, MA., secara lebih rinci menjelaskan bahwa suatu 'adat
atau urf bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Tidak bertentangan dengan
syari'at;
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan
dan tidak menghilangkan kemashlahatan;
3. Telah berlaku pada umumnya
orang muslim;
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah;
5. Urf tersebut sudah
memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya;
6. Tidak bertentangan dengan
yang diungkapkan dengan jelas.[3]
Bagaimanakah mengenai adat kebiasaan
dalam bermu’amalah dan dalam munakahah? semua kebiasaan bermanfaaat dan tidak bertentangan
dengan syara’ dalam mu’amalah seperti jual beli, sewa menyewa, kerjasamanya
pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya, adalah merupakan dasar hukum,
sehingga seandainya terjadi perselisihan pendapat diantara mereka, maka penyelesaiannnya harus
dikembalikan pada adat kebiasaan atau ‘urf yang berlaku. Demikianlah pula dalam
munakahah seperti tentang benyaknya mahar, atau nafakah, juga harus
dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku. Sedangkan adat kebiasaan yang
berlawanan dengan nash-nash syara’ atau bertentangan dengan jiwanya seperti
kebiasaaan suap menyuap, disajikannya minuman keras dan sarana perjudian dalam
pesta-pesta atau dalam pesta-pesta atau dalam persepsi, tentu tidak boleh
dianggap/ dijadikan dassr hukum.
B. Dasar Kaidah Al-‘Adah Muhakkamah
1.
QS.
A'raaf (7) Ayat 199
Éè{ uqøÿyèø9$#
óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/
óÚÌôãr&ur Ç`tã
úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
“Jadilah
Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh.”
2.
Al-Hadits :
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا
فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ
عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
"Apa
yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula di sisi Allah, dan
apa saja yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, maka menurut Allah-pun
digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam
Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud)[4]
Substansi yang terkandung dalam kandungan ayat
al-qur’an dan hadits diatas adalah bahwa ajaran islam benar-benar sangat
memperhatikan keberadaan unsur-unsur kebudayaan atau adat suatu kebiasaan yang
apabila suatu pandangan itu baik maka baik pula disisi Allah SWT . sehingga
Islam tidak memiliki maksud untuk menghapusnya, melainkan mengajak kerjasama secara
sinergik untuk memahami kebutuhan-kebutuhan masyarakat, problem-problemnya dan
tantangan-tantangan kedepan.
C. Karakteristik
Adat dan Perbedaannya dengan ‘Urf
Ø
Karakteristik, bentuk dan
pembagian Adat / ‘urf
1. Urf qouli
dan fi'ly
Urf qouly adalah
kebiasaan adalah jenis kata, ungkapan, atau istilah tertentu yang diberlakukan
oleh sebuah komunitas untuk menunjuk ma'na khusus, dan tidak ada kecenderungan
makna lain di luar apa yang mereka pahami Kebiasaan masyarakat Indonesia
menyebut ekor untuk satuan hewan, contoh seekor sapi, dua ekor kerbau dan
seterusnya. Yang dimaksud seekor bukan satu buntut sapi (dalam arti
sebenarnya), tetapi satuan bilangan untuk satu sapi, dua kerbau dan seterusnya.
Termasuk ke dalam urf qouly, di antaranya kaidah :
الحقيقة تترك بدلالة العادة
"Arti hakiki
(yang sebenarnya, ma'na denotatif) ditinggalkan karena ada petunjuk dari arti
menurut adat".
Adapun urf fi'li
(dalam istilah lain disebut urf amali) adalah pekerjaan atau aktivitas tertentu
yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang sebagai
norma sosial. Contohnya kebiasaan menggelengkan kepala sebagai tanda tidak
setuju, menganggukkan kepala sebagai tanda setuju dan sebagainya. Termasuk ke
dalam urf fi'ly ini di antaranya kaidah :
الاذن العرف كالاذن اللفظ
"Pemberian
idzin menurut adat kebiasaan sama dengan idzin dengan ucapan".
2. Urf 'am dan
khash
Jika ditinjau dari
aspek komunitas pelakunya, adat terbagi dua kategori umum yaitu urf iyah 'ammah
(budaya global atau universal) dan urf khashshoh (budaya lokal). Termasuk
urfiyah ammah adalah adanya ucapan atau pekerjaan yang telah berlaku di seluruh
dunia. Contohnya kata tholaq yang berlaku di seluruh dunia untuk menceraikan
istrinya atau mengangkat kedua belah tangan sampai ke atas kepala yang berlaku
di seluruh dunia untuk memberi tanda menyerah.
Adapun urf
khashshah adalah adapt kebiasaan yang hanya berlaku pada suatu bangsa atau
daerah tertentu. Contohnya tahlilan ketika ada kematian yang hanya berlaku pada
sebagian masyarakat Indonesia. Termasuk ke dalam urf 'am dan urf khash ini di
antaranya berdasarkan kaidah :
التعيين بالعرف كالتعيين بالنص
"Ketentuan
berdasarkan urf seperti ketentuan berdasarkan nash"
3.
Urf shahih dan fasid
Urf (adat) menurut sebagian ulama
ushul fiqh disamakan dengan adat istiadat yaitu kegiatan dalam masyarakat yang
sudah lazim dilaksanakan dan itu berlangsung turun-temurun. Meskipun ada yang
menyamakan dengan adat istiadat tetapi ada yang menganggap bahwa urf dan adat
istiadat itu berbeda. Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya, urf terbagi
atas:
1.
Urf shahih (adat shahih),
yaitu adat istiadat yang tidak bertentangan dengan nash-nash yang ada dalam
Hadits maupun dalam Al-Quran. Selain itu merupakan adat istiadat yang telah
diterima oleh masyarakat, luas dbenarkan oleh pertimbangan akal sehat, membawa
kebaikan, menolak kerusakan. Adapun contohnya adalah jual beli bahan makanan
yang menurut kebiasaan diukur dengan takaran, suatu ketika dapat seja berubah
menjadi diukur dengan timbangan.
2.
Urf fashid (adat fasid)
yaitu adat istiadat yang bertentangan dengan nash-nash dalam Al-Qur’an maupun
Hadits. Selain itu adat istiadat yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat,
tetapi tidak dapat diterima oleh pertimbangan akal sehat, mendatangkan
mudhorot, menghilangkan kemaslahatan dan bertentangan dengan ketentuan syara’.
Contohnya berjudi, minum khomr, dan mengamalkan riba’.
Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa
mengenai Pembagian urf kepada shahih dan fasid ini apabila
didasarkan kepada nash yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Apabila suatu suatu urf
tidak bertentangan nash atau tidak merusak kemashlahatan, maka dikatagorikan
kepada urf shahih. Sedangkan apabila bertentangan dengan nash atau
menimbulkan kemafsadatan, maka dihukumi sebagai urf yang fasid.
Menurut
para ulama adat yang shahih ini boleh atau bahkan wajib dipelihara. Nabi
saw-pun sangat apresiatif pada cita kemashlahatan masyarakat Arab melalui
adat-istiadat shahih mereka. Contohnya syarat kafa'ah (kesepadanan) dalam
perkawinan adalah salah satu adat masyarakat Arab yang diapresiasi oleh Nabi
saw dan kemudian menjadi syari'at. Adapun urf yang fasid wajib dihilangkan,
karena merusak fondasi hukum-hukum syari'at dan ajaran Islam yang sangat
menjunjung tinggi cita kemashlahatan dan menolak keruksakan.
4. Urf sosial
dan individual
Pembagian urf ke
dalam urf sosial dan urf individual ini hampir sama dengan urf 'am dan urf
khash, bedanya urf sosial mencakup urf 'am dan urf khash, sedangkan urf
individual hanya berlaku untuk orang perorangan. Dalam khazanah fiqh, ternyata
ada hukum-hukum tertentu yang berlaku untuk perorangan.
Contohnya
: Haram shalat sunah setelah shalat ashar dan setelah shalat
shubuh. Tetapi bagi orang yang telah terbiasa atau dawam shalat sunnah
ashar atau shalat sunah shubuh, apabila suatu ketika ketinggalan tidak dapat
melaksanakan sebelum ashar atau sebelum shubuh, maka shalat sunah tersebut
dapat dilaksnakan setelah shalat ashar atau setelah shalat shubuh.
Demikian
pula puasa pada hari syak yang hukumnya haram, tetapi bagi orang yang
telah terbiasa puasa sunah, puasa tersebut menjadi tidak haram.
> Perbedaan
antara al-’Adah dengan al-’Urf al-urf
Proses pembentukan
‘adah adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus
menerus, dan ketika pengulangan tersebut bisa membuat tertanam dalam hati
individu, maka ia sudah bisa memasuki wilayah muta’araf, ‘adah berubah menjadi
‘urf (haqiqat al-‘urfiyyah), sehingga ‘adah merupakan unsur yang muncul pertama
kali dilakukan berulang-ulang, lalu tertanam di dalam hati, kemudian menjadi
‘urf.
Oleh sebab itu,
fuqaha menyatakan bahwa ‘adah dan ‘urf dilihat dari sisi terminolgisnya, tidak
memiliki perbedaan prinsipil, artinya penggunaan istilah ‘urf dan ‘adah tidak
mengandung suatu perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda.
Sekalipun demikian,
fuqaha tetap mendefinisikannya berbeda, dimana’urf dijadikan sebagai kebiasaan
yang dilakukan oleh banyak orang (kelompok) dan muncul dari kreativitas
imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Dari pengertian inilah,
baik dan buruknya suatu kebiasaan, tidak menjadi persoalan urgen, selama
dilakukan sevara kolektof, dan hal seperti masuk dalam ketegori ‘urf. Sedang
‘adah mendefinisikan sebagai tradisi (budaya) secara umum, tanpa melihat apakah
dilakukan oleh individu maupun kolektif.
Dari pengertian tersebut,
dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan istilah ‘adah dan ‘urf itu jika
dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu:
-
‘urf hanya menekankan pada adanya aspek
pengulangan pekerjaan, dan harus dilakukan oleh sekelompok, sedang obyeknya
lebih menekankan pada posisi pelakunya.
-
‘adah hanya melihat dari sisi pelakunya, dan boleh
dilakukan pribadi atau kelompok, serta obyeknya hanya melihat pada pekerjaan.
Sedangkan
persamaannya, ‘urf dan ‘adah merupakan sebuah pekerjaan yang sudah
diterima akal sehat, tertanam dalam hal dan dilakukan berulang-ulang serta
sesuia dengan karakter pelakunya. [5]
Maka, dapat disimpulkan
bahwa istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua
aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek
pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di
samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf
harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya
melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek
pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang
sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan
sesuai dengan karakter pelakunya. Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula
dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf yang
sering disebut dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah
segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). [6]
D. Contoh Kasuistik Terkait
(Kehidupan Keseharian atau Peribadatan)
a)
Contoh
‘adah yang hanya dilakukan sekali saja
Contoh:
-
Kasus
pemberian bingkisan kepada calon hakim Agung sebelum ia terangkat menjadi
seorang hakim Agung di Mahkamah Agung
Pemberian yang
dilakukan sekali ini, sudah bisa dikategorikan sebagai ‘adah (budaya), jika
pada akhirnya saat orang tersebut kembali memberikan parsel kepada hakim saat
melakukan putusan hukum yang berkaitan dengannya, sehingga pemberian parsel
itu, tidak bisa dikategorikan sebagai al-risywah (suap), sebab sudah ada
satu kali pemberian bingkisan yang sudah dianggap ‘adah (budaya) sebelum hakim
menggunakan otoritasnya sebagai penegak hukum.
-
Kasus
perkiraan masa menstruasi dan masa suci.
Dalam menaggapi kasus
ini, Imam al-Nwawi berpendapat bahwa darah yang keluar dan dianggap ‘adah itu,
dengan satu kali peristiwa. Kasus ini
bisa dilihat dari kondisi wanita yang mubtadi’ah mumayyizah, yaitu
wanita yang sejak pertama kali haid sudah bisa membedakan antara darah yang
kuat dan darah yang lemah. Jika demikian, fuaha memiliki pendapat sama bahwa
darah yang dikeluarkan kedua itu adalah darah al-isthiadlah (darah penyakit),
sehingga dengan pertama kali ia mengeluarkan darah haidh, ia sudah dinilai akan
mengalaminya secara konstan, sedang darah istihadlah, termasuk darah penyakit
yang keluar secara stimulant dari waktu kewaktu (luzumiyah),sehingga
ketika ia sudah mengaami satu kali, maka seterusnya akan terus terjadi sesuai
dengan cirri-ciri awalnya.
Oleh sebab itu, untuk
bulan kedua ia tidak harus menunggu 15 hari untuk melaksanakan ibadahnya, akan
tetapi cukup hanya ketika ia melihat terjadinya perpindahan darah dari yang
kuat ke yang lemah, dengan memendang satu peristiwa kebiasaan pada bulan
sebelumnya bahwa dirinya sedang mengalami istihadlah.
b)
‘Adah
harus terjadi minimal 2 (dua) sampai 3 (tiga) kali
Contoh :
-
Kasus
orang yang memiliki kemampuan telapati untuk menentukan nasab seorang bayi (al-qa’if)
Dalam menanggapi kasus
ini, fuqaha menyatakan bahwa pengulangan valid informasinya tidak cukup hanya
sekali, tetapi harus berulang-ulang kali, sekalipun fuqaha berbeda pendapat
dalam hal kuantitas bilangannya.
-
Kasus
tentang ukuran darah haid dan kebiasaan suci yang sedang dialami oleh wanita
mu’taddah ketika kan menentukan status hukum darah haid dan istiadhadlahnya
saat keluar darah yang lebih dari 15 hari.
Hal ini fuqaha berbeda dalam memberikan
solusinya perihal standarisasi masa haidh dan kebiasaan suci ini dalam hal
apakah cukup hanya satu kali atau dua kali kebiasaan.
c)
‘adah
yang tidak ada hitungan bilangam secara pasti, sebab yang menjadi titik
penekanan (stressing/ wajhu al-dilalah) adalah tercapainya dugaan kuat
bahwa apa yang terjadi itu, benar-benar terjadi dan sesuai dengan apa yang
telah terjadi itu, benar-benar terjadi dan sesuai dengan apa yang telah
ditentukan syari’at.
Contoh :
-
Kasus
anak yang umurnya belum mencapai dewasa, tatapi sudah bisa melakukan transaksi
tawar-menewar ketika membeli barang,ia bisa mengajukan harga yang labih randah
dari harga yang ditawarkan penjual, ia sudah memiliki naluri untuk menawarkan
barang jualannya dengan menggunakan harga yang lebih tinggi dari harga yang
telah diajukan pembeli. Jika demikian, maka seorang wali (orang yang menguasai)
sudah dianggap boleh mempercayainya untuk melaksanakan transaksi jual-beli.
-
Kasus
suara berkokok ayamjantan sebagai tanda terbitnya fajar, dan keluarnya burung
kelelawar sebagai tanda terbitnya matahari dan sebagainya.
-
Kasus
wanita istiadhlah, dimana keluarnya darah berlangsung secara terputus-putus,
sedang warna darahnya hanya satu, sehingga sulit dibedakan mana darah haidh dan
mana darah istiadhlah. Hal ini orang tidak bisa mengambil kesimpulan soal
standarisasi hari-hari haidh yang bisa dijadikan pijakan, sebab dalam kasus ini
tidak ditemukan adanya ‘adah.
d)
‘Adah
yang tidak bisa diketahui dengan melihat satu pengulangan atau lebih. Hal ini
terjadi pada kasu tawaquf (tidak melakukan ibadah pada saat tidak keluar
darah) bagi wanita yang keluar darah secara terputus-putus.
Dari kenyataan seperti
itu, dapat disimpulkan bahwa kasus bilangan ‘adah itu tergantung pada kasus
yang sedang dihadapi, sedang untuk bisa dikatakan ‘adah itu apakah harus
mencapai bilangan satu, dua, tiga dan seterusnya, tergantung pada obyek hukum
yang sudah dihadapi. [7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
:
Kaidah fikih asasi
kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua
istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah
atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum
yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Istilah
adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang
berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek
pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di
samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf
harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya
melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek
pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang
sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan
sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan
pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa
hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu
akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
Adapun adat itu
dapat dijadikan sebagai landasan hukum apabila:
v Tidak bertentangan dengan nash, Berlaku umum
v Tidak menimbulkan kerusakan atau kemafsadatan
v Dan adat itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang
akan dilandaskan pada ‘urf itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.Djazuli H.A., , Kaidah-Kaidah
Fikih, 2007,Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2.
Haq Abdul, dkk, Formulasi
Nalar Fiqh: telaah Kaidah Fiqh Konseptual, 2006, Lirboyo: Khalista &
Kakilima Lirboyo.
Prof. Dr., MA
Syafe'I Rachmat,. Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, cet.
Ke-3, 2007)
Tamrin Dahlan, Kaidah-kaidah
Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), 2010, Malang: UIN Maliki Press
[1] H.A. Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah Fikih, 2007, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2, hlm. 80
[2] Rachmat Syafe'I, Prof.
Dr., MA. Ilmu Ushul Fiqh, 2007 , Bandung: Pustaka Setia, cet. Ke-3, hlm. 128.
[3] Rachmat Syafe'I, Prof. Dr., MA. Ilmu Ushul Fiqh, 2007, Bandung: Pustaka Setia, cet. Ke-3, hlm. 291
[5] Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),2010,
Malang: UIN Maliki Press, hlm. 208-209
[6] Abdul Haq,
dkk, Formulasi Nalar Fiqh: telaah Kaidah Fiqh Konseptual, 2006 Surabaya:
khalista & Kakilima Lirboyo, hlm 293