Jumat, 20 Desember 2013

makalah kaidah ke lima اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ


                                                      MAKALAH
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
 Mata Kuliah Qawaid Fiqhiyah
Tahun Akademik 2013/2014
Dosen Pengampu : Bapak Ibi Syatibi, M.SI

Disusun oleh:
AMALIYANAH
       NIM. 14122210929
Fakultas Syari’ah/ Muamalah-2/ Semester 3
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
Jl. Perjuangan By. Pas Sunyaragi Kota Cirebon Tlp. 0231 481264

BAB I
PENDAHULUAN
Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Qowaidh fiqhiyah mempunya beberapa induk  qaidah. Dalam makalah ini kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan salah satu induk dari kaidah-kaidah fiqh yang kelima yaitu Al ‘aadah Muhakkamah (Adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari Kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hokum  dengan melihat sifat dari hukum itu sendiri yang senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Kaidah tentang al-’adah al-Muhakkamah. Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu hukum kully (menyeluruh) yang mencakup semua bagian-bagiannya. Qawa’id fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah, salah satu kaidah fiqh yaitu al-‘adah al-muhakkamah (adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN


A. Definisi Kaidah Al-‘Adah Muhakkamah  
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Oleh karena itu, sebelum mengurai kaidah ini, perlu diketahui terlebih dahulu tentang adat.
Secara bahasa, al-'adah diambil dari kata al-'awud ( العود ) atau al-mu'awadah ( المؤدة) yang artinya berulang ( التكرار ). Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat.
Adapun definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah :
عبا رة عما يستقر فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة عند الطباع السليمة
“Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”.[1]
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara harfiyah berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.[2]
االعرف هو ما تعا رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum"
Dari dua definisi di atas, ada unsur berulang-ulang dilakukan dan dalam al-‘urf ada unsur (al-ma’ruf) dikenal sebagai sesuatau yang baik. Kata-kata al-‘urf ada hubungannya dengan tata nilai di masyarakat yang dianggap baik. Tidak hanya benar menurut keyakinan masyarakat tetapi juga baik untuk dilakukan dan diucapkan. Hal ini erat kaitannya dengan “al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar” dalam Al-Qur’an. Tampaknya lebih tepat apabila al-‘adah atau al-‘urf ini didefinisikan dengan: “apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah ‘al-‘ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Dengan demikian al-'adah atau al-urf yang dapat dikatagorikan muhakkamah adalah budaya atau tradisi atau kebiasaan dari sesuatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang memiliki 3 (tiga) ciri, yaitu :
1. Dianggap baik melakukan atau meninggalkannya oleh manusia secara umum;
2. Dilakukan atau ditinggalkannya secara terus-menerus dan berulang-ulang; dan
3. Tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Adapun Prof. Dr. H. Rachmat Syafe'i, MA., secara lebih rinci menjelaskan bahwa suatu 'adat atau urf bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Tidak bertentangan dengan syari'at;
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan;
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim;
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah;
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya;
6. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.[3]
                              Bagaimanakah mengenai adat kebiasaan dalam bermu’amalah dan dalam munakahah? semua kebiasaan bermanfaaat dan tidak bertentangan dengan syara’ dalam mu’amalah seperti jual beli, sewa menyewa, kerjasamanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya, adalah merupakan dasar hukum, sehingga seandainya terjadi perselisihan pendapat  diantara mereka, maka penyelesaiannnya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau ‘urf yang berlaku. Demikianlah pula dalam munakahah seperti tentang benyaknya mahar, atau nafakah, juga harus dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku. Sedangkan adat kebiasaan yang berlawanan dengan nash-nash syara’ atau bertentangan dengan jiwanya seperti kebiasaaan suap menyuap, disajikannya minuman keras dan sarana perjudian dalam pesta-pesta atau dalam pesta-pesta atau dalam persepsi, tentu tidak boleh dianggap/ dijadikan dassr hukum.
B. Dasar Kaidah Al-‘Adah Muhakkamah 
1.      QS. A'raaf (7) Ayat 199

Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ

Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.


2.     Al-Hadits :
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
       "Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, maka menurut Allah-pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud)[4]
Substansi yang terkandung dalam kandungan ayat al-qur’an dan hadits diatas adalah bahwa ajaran islam benar-benar sangat memperhatikan keberadaan unsur-unsur kebudayaan atau adat suatu kebiasaan yang apabila suatu pandangan itu baik maka baik pula disisi Allah SWT . sehingga Islam tidak memiliki maksud untuk menghapusnya, melainkan mengajak kerjasama secara sinergik untuk memahami kebutuhan-kebutuhan masyarakat, problem-problemnya dan tantangan-tantangan kedepan.


C. Karakteristik Adat dan Perbedaannya dengan ‘Urf 
Ø  Karakteristik, bentuk dan pembagian Adat / ‘urf
1. Urf qouli dan fi'ly
Urf qouly adalah kebiasaan adalah jenis kata, ungkapan, atau istilah tertentu yang diberlakukan oleh sebuah komunitas untuk menunjuk ma'na khusus, dan tidak ada kecenderungan makna lain di luar apa yang mereka pahami Kebiasaan masyarakat Indonesia menyebut ekor untuk satuan hewan, contoh seekor sapi, dua ekor kerbau dan seterusnya. Yang dimaksud seekor bukan satu buntut sapi (dalam arti sebenarnya), tetapi satuan bilangan untuk satu sapi, dua kerbau dan seterusnya. Termasuk ke dalam urf qouly, di antaranya kaidah :
الحقيقة تترك بدلالة العادة
"Arti hakiki (yang sebenarnya, ma'na denotatif) ditinggalkan karena ada petunjuk dari arti menurut adat".
Adapun urf fi'li (dalam istilah lain disebut urf amali) adalah pekerjaan atau aktivitas tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang sebagai norma sosial. Contohnya kebiasaan menggelengkan kepala sebagai tanda tidak setuju, menganggukkan kepala sebagai tanda setuju dan sebagainya. Termasuk ke dalam urf fi'ly ini di antaranya kaidah :
الاذن العرف كالاذن اللفظ
"Pemberian idzin menurut adat kebiasaan sama dengan idzin dengan ucapan".
2. Urf 'am dan khash
Jika ditinjau dari aspek komunitas pelakunya, adat terbagi dua kategori umum yaitu urf iyah 'ammah (budaya global atau universal) dan urf khashshoh (budaya lokal). Termasuk urfiyah ammah adalah adanya ucapan atau pekerjaan yang telah berlaku di seluruh dunia. Contohnya kata tholaq yang berlaku di seluruh dunia untuk menceraikan istrinya atau mengangkat kedua belah tangan sampai ke atas kepala yang berlaku di seluruh dunia untuk memberi tanda menyerah.
Adapun urf khashshah adalah adapt kebiasaan yang hanya berlaku pada suatu bangsa atau daerah tertentu. Contohnya tahlilan ketika ada kematian yang hanya berlaku pada sebagian masyarakat Indonesia. Termasuk ke dalam urf 'am dan urf khash ini di antaranya berdasarkan kaidah :
التعيين بالعرف كالتعيين بالنص
"Ketentuan berdasarkan urf seperti ketentuan berdasarkan nash"
3.      Urf shahih dan fasid
Urf (adat) menurut sebagian ulama ushul fiqh disamakan dengan adat istiadat yaitu kegiatan dalam masyarakat yang sudah lazim dilaksanakan dan itu berlangsung turun-temurun. Meskipun ada yang menyamakan dengan adat istiadat tetapi ada yang menganggap bahwa urf dan adat istiadat itu berbeda. Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya, urf terbagi atas:
1.      Urf shahih (adat shahih), yaitu adat istiadat yang tidak bertentangan dengan nash-nash yang ada dalam Hadits maupun dalam Al-Quran. Selain itu merupakan adat istiadat yang telah diterima oleh masyarakat, luas dbenarkan oleh pertimbangan akal sehat, membawa kebaikan, menolak kerusakan. Adapun contohnya adalah jual beli bahan makanan yang menurut kebiasaan diukur dengan takaran, suatu ketika dapat seja berubah menjadi diukur dengan timbangan.
2.      Urf fashid (adat fasid) yaitu adat istiadat yang bertentangan dengan nash-nash dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Selain itu adat istiadat yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat, tetapi tidak dapat diterima oleh pertimbangan akal sehat, mendatangkan mudhorot, menghilangkan kemaslahatan dan bertentangan dengan ketentuan syara’. Contohnya berjudi, minum khomr, dan mengamalkan riba’.
Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa mengenai Pembagian urf kepada shahih dan fasid ini apabila didasarkan kepada nash yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Apabila suatu suatu urf tidak bertentangan nash atau tidak merusak kemashlahatan, maka dikatagorikan kepada urf shahih. Sedangkan apabila bertentangan dengan nash atau menimbulkan kemafsadatan, maka dihukumi sebagai urf yang fasid.
Menurut para ulama adat yang shahih ini boleh atau bahkan wajib dipelihara. Nabi saw-pun sangat apresiatif pada cita kemashlahatan masyarakat Arab melalui adat-istiadat shahih mereka. Contohnya syarat kafa'ah (kesepadanan) dalam perkawinan adalah salah satu adat masyarakat Arab yang diapresiasi oleh Nabi saw dan kemudian menjadi syari'at. Adapun urf yang fasid wajib dihilangkan, karena merusak fondasi hukum-hukum syari'at dan ajaran Islam yang sangat menjunjung tinggi cita kemashlahatan dan menolak keruksakan.
4. Urf sosial dan individual
Pembagian urf ke dalam urf sosial dan urf individual ini hampir sama dengan urf 'am dan urf khash, bedanya urf sosial mencakup urf 'am dan urf khash, sedangkan urf individual hanya berlaku untuk orang perorangan. Dalam khazanah fiqh, ternyata ada hukum-hukum tertentu yang berlaku untuk perorangan.
Contohnya : Haram shalat sunah setelah shalat ashar dan setelah shalat shubuh. Tetapi bagi orang yang telah terbiasa atau dawam shalat sunnah ashar atau shalat sunah shubuh, apabila suatu ketika ketinggalan tidak dapat melaksanakan sebelum ashar atau sebelum shubuh, maka shalat sunah tersebut dapat dilaksnakan setelah shalat ashar atau setelah shalat shubuh.
Demikian pula puasa pada hari syak yang hukumnya haram, tetapi bagi orang yang telah terbiasa puasa sunah, puasa tersebut menjadi tidak haram.
>  Perbedaan antara  al-’Adah dengan al-’Urf al-urf
Proses pembentukan ‘adah adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus, dan ketika pengulangan tersebut bisa membuat tertanam dalam hati individu, maka ia sudah bisa memasuki wilayah muta’araf, ‘adah berubah menjadi ‘urf (haqiqat al-‘urfiyyah), sehingga ‘adah merupakan unsur yang muncul pertama kali dilakukan berulang-ulang, lalu tertanam di dalam hati, kemudian menjadi ‘urf.
Oleh sebab itu, fuqaha menyatakan bahwa ‘adah dan ‘urf dilihat dari sisi terminolgisnya, tidak memiliki perbedaan prinsipil, artinya penggunaan istilah ‘urf dan ‘adah tidak mengandung suatu perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda.
Sekalipun demikian, fuqaha tetap mendefinisikannya berbeda, dimana’urf dijadikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang (kelompok) dan muncul dari kreativitas imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Dari pengertian inilah, baik dan buruknya suatu kebiasaan, tidak menjadi persoalan urgen, selama dilakukan sevara kolektof, dan hal seperti masuk dalam ketegori ‘urf. Sedang ‘adah mendefinisikan sebagai tradisi (budaya) secara umum, tanpa melihat apakah dilakukan oleh individu maupun kolektif.
Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan istilah ‘adah dan ‘urf itu jika dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu:
-          ‘urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan, dan harus dilakukan oleh sekelompok, sedang obyeknya lebih menekankan pada posisi pelakunya.
-          ‘adah hanya melihat dari sisi pelakunya, dan boleh dilakukan pribadi atau kelompok, serta obyeknya hanya melihat pada pekerjaan.
Sedangkan  persamaannya, ‘urf dan ‘adah merupakan sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hal dan dilakukan berulang-ulang serta sesuia dengan karakter pelakunya. [5]
Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya. Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf  yang sering disebut dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). [6]
D.  Contoh Kasuistik Terkait (Kehidupan Keseharian atau Peribadatan)  
a)      Contoh ‘adah yang hanya dilakukan sekali saja
Contoh:
-          Kasus pemberian bingkisan kepada calon hakim Agung sebelum ia terangkat menjadi seorang hakim Agung di Mahkamah Agung
Pemberian yang dilakukan sekali ini, sudah bisa dikategorikan sebagai ‘adah (budaya), jika pada akhirnya saat orang tersebut kembali memberikan parsel kepada hakim saat melakukan putusan hukum yang berkaitan dengannya, sehingga pemberian parsel itu, tidak bisa dikategorikan sebagai al-risywah (suap), sebab sudah ada satu kali pemberian bingkisan yang sudah dianggap ‘adah (budaya) sebelum hakim menggunakan otoritasnya sebagai penegak hukum.
-          Kasus perkiraan masa menstruasi dan masa suci.
Dalam menaggapi kasus ini, Imam al-Nwawi berpendapat bahwa darah yang keluar dan dianggap ‘adah itu, dengan satu kali peristiwa.   Kasus ini bisa dilihat dari kondisi wanita yang mubtadi’ah mumayyizah, yaitu wanita yang sejak pertama kali haid sudah bisa membedakan antara darah yang kuat dan darah yang lemah. Jika demikian, fuaha memiliki pendapat sama bahwa darah yang dikeluarkan kedua itu adalah darah al-isthiadlah (darah penyakit), sehingga dengan pertama kali ia mengeluarkan darah haidh, ia sudah dinilai akan mengalaminya secara konstan, sedang darah istihadlah, termasuk darah penyakit yang keluar secara stimulant dari waktu kewaktu (luzumiyah),sehingga ketika ia sudah mengaami satu kali, maka seterusnya akan terus terjadi sesuai dengan cirri-ciri awalnya.
Oleh sebab itu, untuk bulan kedua ia tidak harus menunggu 15 hari untuk melaksanakan ibadahnya, akan tetapi cukup hanya ketika ia melihat terjadinya perpindahan darah dari yang kuat ke yang lemah, dengan memendang satu peristiwa kebiasaan pada bulan sebelumnya bahwa dirinya sedang mengalami istihadlah.
b)     ‘Adah harus terjadi minimal 2 (dua) sampai 3 (tiga) kali
Contoh :
-          Kasus orang yang memiliki kemampuan telapati untuk menentukan nasab seorang bayi (al-qa’if)
Dalam menanggapi kasus ini, fuqaha menyatakan bahwa pengulangan valid informasinya tidak cukup hanya sekali, tetapi harus berulang-ulang kali, sekalipun fuqaha berbeda pendapat dalam hal kuantitas bilangannya.
-          Kasus tentang ukuran darah haid dan kebiasaan suci yang sedang dialami oleh wanita mu’taddah ketika kan menentukan status hukum darah haid dan istiadhadlahnya saat keluar darah yang lebih dari 15 hari.
Hal ini fuqaha berbeda dalam memberikan solusinya perihal standarisasi masa haidh dan kebiasaan suci ini dalam hal apakah cukup hanya satu kali atau dua kali kebiasaan.
c)      ‘adah yang tidak ada hitungan bilangam secara pasti, sebab yang menjadi titik penekanan (stressing/ wajhu al-dilalah) adalah tercapainya dugaan kuat bahwa apa yang terjadi itu, benar-benar terjadi dan sesuai dengan apa yang telah terjadi itu, benar-benar terjadi dan sesuai dengan apa yang telah ditentukan syari’at.
Contoh :
-          Kasus anak yang umurnya belum mencapai dewasa, tatapi sudah bisa melakukan transaksi tawar-menewar ketika membeli barang,ia bisa mengajukan harga yang labih randah dari harga yang ditawarkan penjual, ia sudah memiliki naluri untuk menawarkan barang jualannya dengan menggunakan harga yang lebih tinggi dari harga yang telah diajukan pembeli. Jika demikian, maka seorang wali (orang yang menguasai) sudah dianggap boleh mempercayainya untuk melaksanakan transaksi jual-beli.
-          Kasus suara berkokok ayamjantan sebagai tanda terbitnya fajar, dan keluarnya burung kelelawar sebagai tanda terbitnya matahari dan sebagainya.
-          Kasus wanita istiadhlah, dimana keluarnya darah berlangsung secara terputus-putus, sedang warna darahnya hanya satu, sehingga sulit dibedakan mana darah haidh dan mana darah istiadhlah. Hal ini orang tidak bisa mengambil kesimpulan soal standarisasi hari-hari haidh yang bisa dijadikan pijakan, sebab dalam kasus ini tidak ditemukan adanya ‘adah.
d)     ‘Adah yang tidak bisa diketahui dengan melihat satu pengulangan atau lebih. Hal ini terjadi pada kasu tawaquf (tidak melakukan ibadah pada saat tidak keluar darah) bagi wanita yang keluar darah secara terputus-putus.
Dari kenyataan seperti itu, dapat disimpulkan bahwa kasus bilangan ‘adah itu tergantung pada kasus yang sedang dihadapi, sedang untuk bisa dikatakan ‘adah itu apakah harus mencapai bilangan satu, dua, tiga dan seterusnya, tergantung pada obyek hukum yang sudah dihadapi. [7]










       BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :                                                  
Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
Adapun adat itu dapat dijadikan sebagai landasan hukum apabila:
v  Tidak bertentangan dengan nash, Berlaku umum
v  Tidak menimbulkan kerusakan atau kemafsadatan
v  Dan adat itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan pada ‘urf itu.

DAFTAR PUSTAKA
Prof.Djazuli H.A., , Kaidah-Kaidah Fikih, 2007,Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2.
Haq Abdul, dkk, Formulasi Nalar Fiqh: telaah Kaidah Fiqh Konseptual, 2006, Lirboyo: Khalista & Kakilima Lirboyo.
Prof. Dr., MA Syafe'I Rachmat,. Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, cet. Ke-3, 2007)
Tamrin Dahlan, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), 2010, Malang: UIN Maliki Press













[1] H.A. Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah Fikih, 2007, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2, hlm. 80
[2] Rachmat Syafe'I, Prof. Dr., MA. Ilmu Ushul Fiqh, 2007 , Bandung:  Pustaka Setia, cet. Ke-3, hlm. 128.

[3] Rachmat Syafe'I, Prof. Dr., MA. Ilmu Ushul Fiqh, 2007, Bandung:  Pustaka Setia, cet. Ke-3, hlm. 291
[4] H.A. Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah Fikih, ...hlm.292

[5] Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),2010, Malang: UIN Maliki Press, hlm. 208-209
[6] Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh: telaah Kaidah Fiqh Konseptual, 2006 Surabaya: khalista & Kakilima Lirboyo, hlm 293
[7] Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam……hlm. 217-220