Etika Kerja dalam Bisnis Islami
Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Tugas
Terstruktur
Dalam Mata Kuliah Etika Bisnis Islami
Dosen pengampu : Bapak Drs. H. Ahmad Dasuki
Aly, MM
Disusun Oleh:
Amaliyanah ( 14122210929)
R.Dini Kusuma Anggraeni N. (14122210xxx)
Kelompok 7
MEPI 2 / SEMESTER 4
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
JalanPerjuanganBy Pass Sunyaragi Cirebon
- Jawa Barat 45132
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
Agama Islam
yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi
kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan
juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan
dengan kerja ini.
Dalam suatu
ungkapan dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di
bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih
baik dari pada mukslim yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja.”
Nyatanya kita kebanyakan bersikap
dan bertingkah laku justru berlawanan dengan ungkapan-ungkapan tadi. Padahal
dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etika kerja
yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan
dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang
telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika Kerja
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah pandangan hidup yang khas dari suatu
golongan sosial. Jadi, pengertian Etika Kerja adalah semangat kerja yg menjadi
ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok.
Etika
berasal dari bahasa Yunani yang berarti sesuatu yang diyakini, cara berbuat,
sikap serta persepsi terhadap nilai bekerja. Sedangkan Etika Kerja Muslim dapat
didefinisikan sebagai cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja
tidak hanya bertujuan memuliakan diri, tetapi juga sebagai suatu manifestasi
dari amal sholeh dan mempunyai nilai ibadah yang luhur.
Etika
Kerja merupakan totalitas kepribadian diri serta cara mengekspresikan,
memandang, meyakini, dan memberikan sesuatu yang bermakna, yang mendorong
dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high performance).
Etika
Kerja Muslim didefenisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan
yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya,
menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal
sholeh. Sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman bukan saja
menunjukkan fitrah seorang muslim, melainkan sekaligus meninggikan martabat
dirinya sebagai hamba Allah yang didera kerinduan untuk menjadikan dirinya
sebagai sosok yang dapat dipercaya, menampilkan dirinya sebagai manusia yang
amanah, menunjukkan sikap pengabdian sebagaimana firman Allah, “Dan tidak
Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”, (QS.
Adz-Dzaariyat : 56).
Bekerja
adalah fitrah dan merupakan salah satu identitas manusia, sehingga bekerja yang
didasarkan pada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukkan fitrah
seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba
Allah SWT.
Apabila
bekerja itu adalah fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang enggan
bekerja, malas dan tidak mau mendayagunakan seluruh potensi diri untuk
menyatakan keimanan dalam bentuk amal kreatif, sesungguhnya dia itu melawan fitrah
dirinya sendiri, dan menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia.
Setiap
muslim selayaknya tidak asal bekerja, mendapat gaji, atau sekedar menjaga
gengsi agar tidak dianggap sebagai pengangguran. Karena, kesadaran bekerja
secara produktif serta dilandasi semangat tauhid dan tanggung jawab merupakan
salah satu ciri yang khas dari karakter atau kepribadian seorang muslim.
Tidak
ada alasan bagi seorang muslim untuk menjadi pengangguran, apalagi menjadi
manusia yang kehilangan semangat inovatif. Karena sikap hidup yang tak
memberikan makna, apalagi menjadi beban dan peminta-minta, pada hakekatnya
merupakan tindakan yang tercela.
Seorang muslim yang memiliki etika kerja adalah mereka yang
selalu obsesif atau ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat yang merupakan
bagian amanah dari Allah.
Abu Hamid memberikan pengertian bahwa etika
adalah sifat, karakter, kualitas hidup, moral dan gaya estetika serta suasana
hati seseorang masyarakat. Kerja adalah suatu aktivitas yang menghasilkan suatu
karya. Karya yang dimaksud, berupa segala yang dihasilkan untuk memenuhi
kebutuhan, dan selalu berusaha menciptakan karya-karya lainnya.[1]
B. Landasan filosofis dalam etika kerja
Ethos
berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter
serta keyakinan atas sesuatu.
Sikap
ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan
masyarakat. Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta
sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etika ini dikenal pula kata etika yang
hamper mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan
baik buruk moral sehingga dalam etika tersebut terkandung gairah atau semangat
yang amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan
berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Dalam
al-Qur’an dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang
sungguh-sungguh, akurat dan sempurna. (An-Naml : 88). Etika kerja seorang
muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil
keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim
berlandaskan pada etika jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia
diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada
nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan
adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah)
kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)
Kerja
dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik
dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang
berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa
Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan
melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari
nafkah.
KH.
Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang muslim adalah suatu
upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh asset dan zikirnya untuk
mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang
menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang
terbaik atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa dengan bekerja manusia
memanusiakan dirinya.
Lebih
lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk
memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai
tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan
prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
Di
dalam kaitan ini, al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan
yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja
tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan
hukuman dan pahala di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan
kerja sebagai suatu etika kerja positif dan negatif. Di dalam al-Qur’an banyak
kita temui ayat tentang kerja seluruhnya berjumlah 602 kata, bentuknya :
1. Kita temukan 22
kata ‘amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62,
an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2.
Kata ‘amal (perbuatan) kita temui sebanyak 17
kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-Fathir: 10.
3.
Kata wa’amiluu (mereka telah mengerjakan) kita
temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat al-Ahqaf: 19 dan an-Nur: 55.
4.
Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti dalam
surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5.
Kita temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhum, a’maalun,
a’maluka, ‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah.
Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8,
dan at-Tur: 21.
6.
Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal,
a’malu seperti dalam surat al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.
7. Disamping itu,
banyak sekali ayat-ayat yang mengandung anjuran dengan istilah seperti shana’a,
yasna’un, siru fil ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya
ayat-ayat tentang perintah berulang-ulang dan sebagainya.
Di
samping itu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari
iman, pembukti bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman,
Allah SWT berfirman:
“…barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh…” (Al-Kahfi: 110)
Ada
juga ayat al-Qur’an yang menunjukkan pengertian kerja secara sempit misalnya
firman Allah SWT kepada Nabi Daud As.
“ Dan Telah
kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu
dalam peperanganmu…” (al-Anbiya: 80)
Dalam
surah al-Jumu’ah ayat 10 Allah SWT menyatakan :
“ Apabila
Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
(al-Jumu’ah: 10)
Pada
hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek
mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan
empat macam pekerja :
1. al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit,
tukang kayu, dan para pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih
luas, seperti mereka yang bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
2.
al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari
suatu perusahaan dan pegawai negeri.
3.
al-Kasbah:
para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli
seperti pedagang keliling.
4. al-Muzarri’un: para petani.
Pengertian
tersebut tentunya berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah
SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, berikanlah upah pekerja
sebelum kering keringat-keringatnya. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan
Thabrani).
Pendapat
atau kaidah hukum yang menyatakan : “Besar gaji disesuaikan dengan hasil
kerja.” Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain
disesuaikan dengan porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat
memuaskan kedua belah pihak.
C. Hak & Kewajiban Karyawan Kepada Perusahaan
Karyawan juga mempunyai kewajiban
terhadap perusahaan, yang berupa:[2]
1.
Kewajiban
ketaatan
Karyawan
harus taat kepada atasannya, karena ada ikatan kerja antara keduanya. Namun
tentunya taat disini bukan berarti harus selalu mematuhi semua perintah atasan,
jika perintah tersebut dianggap tidak bermoral dan tidak wajar, maka pekerja
tidak wajib mematuhinya.
2. Kewajiban Konfidensialitas
Kewajiban
untuk menyimpan informasi yang sifatnya sangat rahasia. Setiap karyawan di
dalam perusahaan, terutama yang memiliki akses ke rahasia perusahaan seperti
akuntan, bagian operasi, manajer, dan lain lain memiliki konsekuensi untuk
tidak membuka rahasia perusahaan kepada khalayak umum. Kewajiban ini tidak
hanya dipegang oleh karyawan tersebut selama ia masih bekerja disana, tetapi
juga setelah karyawan tersebut tidak bekerja di tempat itu lagi. Sangatlah
tidak etis apabila seorang karyawan pindah ke perusahaan baru dengan membawa
rahasia perusahaannya yang lama agar ia mendapat gaji yang lebih besar.[3]
3. Kewajiban Loyalitas
Konsekuensi
lain yang dimiliki seorang karyawan apabila dia bekerja di dalam sebuah
perusahaan adalah dia harus memiliki loyalitas terhadap perusahaan. Dia harus
mendukung tujuan-tujuan dan visi-misi dari perusahaan tersebut. Karyawan yang
sering berpindah-pindah pekerjaan dengan harapan memperoleh gaji yang lebih
tinggi dipandang kurang etis karena dia hanya berorientasi pada materi belaka.
Ia tidak memiliki dedikasi yang sungguh-sungguh kepada perusahaan di tempat dia
bekerja. Maka sebagian perusahaan menganggap tindakan ini sebagai tindakan yang
kurang etis bahkan lebih ekstrim lagi mereka menganggap tindakan ini sebagai
tindakan yang tidak bermoral.
Karena
bekerja pada suuatu perusahaan ,karyawan bisa mengetahui banyak hal mengenai perusahaannya yang tidak diketahui oleh
orang lain, bukan saja hal-hal yang bersifat rahasia (trade secrets)
tetapi juga praktek-praktek yang tidak etis. Didalam pelaporan kesalahan
perusahaan yaitu dengan cara whistle blowing yang artinya menarik perhatian
dunia luar dengan melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah organisasi ataupun
perusahaan. Misal whistle blowing internal, disini karyawan dapat melaporkan
kesalahan perusahaan dengan melapor kepada atasannya langsung didalam
perusahaan tersebut. Whistle blowing eksternal, contoh disini suatu karyawan
melaporkan bahwa perusahaannya tidak memenuhi konstribusinya kepada Jamsostek
atau tidak membayar pajak melalui instansi diluar perusahaan entah itu instansi
pemerintah atau kepada masyarakat melalui media komunikasi.
Pelaporan dapat dibenarkan secara
moral apabila lima syarat berikut terpenuhi :
ΓΌ Kesalahan
perusahaan harus besar
ΓΌ Pelaporan
harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar
ΓΌ Pelaporan
harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian pihak ketiga
bukan karena motif lain
ΓΌ Penyelesaian
masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalahan perusahaan
dibawa keluar
ΓΌ Harus ada
kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukse
D.
Hak &
kewajiban perusahaan terhada karyawan[5]
1.
Tidak
bertindak diskriminatif
Selain membebani karyawan dengan berbagai kewajiban
terhadap perusahan, suatu perusahaan juga berkewajiban untuk memberikan hak-hak
yang sepadan dengan karyawan. Perusahaan hendaknya tidak melakukan
praktik-praktik diskriminasi dan eksploitasi terhadap para karyawannya.
Perusahaan juga harus memperhatikan kesehatan para karyawannya, serta
perusahaan hendaknya tidak berlaku semena-mena terhadap para karyawannya.
Ada beberapa alasan mengapa diskriminasi dianggap
tidak pantas di dalam perusahaan. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah :
1
Diskriminasi bisa merugikan
perusahaan itu tersendiri, karena perusahaan tidak berfokus pada kapasitas dan
kapabilitas calon pelamar, melainkan pada faktor-faktor lain diluar itu.
Perusahaan telah kehilangan kemampuan bersaingnya karena perusahaan tersebut
tidak diisi oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya.
2
Diskriminasi juga melecehkan harkat
dan martabat dari orang yang didiskriminasi.
3
Diskriminasi juga tidak sesuai
dengan teori keadilan. Terutama keadilan distributif.
Lawan kata dari diskriminasi adalah favoritisme. Favoritisme
berarti mengistimewakan seseorang dalam menyeleksi karyawan, menyediakan bonus,
dan sebagainya. Meskipun berbeda jauh dengan diskriminasi, favoritisme tetap
dipandang tidak adil karena memperlakukan orang lain secara tidak merata. Namun
di dalam hal-hal tertentu, favoritisme masih dapat ditolerir seperti dalam
pengelolaan took kecil dan tempat-tempat peribadatan. Favoritisme tidak dapat
ditolerir lagi di dalam pemerintahan dan perusahaan-perusahaan besar yang
membutuhkan ketrampilan dan kemampuan yang lebih terhadap para pegawainya.
Prinsip ini juga bertentangan dengan prinsip birokrasi yang dikemukakan oleh
Max Weber.
Perusahaan hendaknya juga mendistribusikan gaji secara
adil terhadap seluruh karyawannya. Hendaknya perusahaan tidak hanya menggunakan
evaluasi kinerja saja untuk menentukan gaji para karyawannya, tapi akan lebih
etis lagi apabila perusahaan juga ikut memperhitungkan berapa kepala yang
bergantung pada sang karyawan tersebut.
2.
Penjaminan
kesehatan & keselamatan kerja, pemberian gaji atau konvensasi secara adil
-
Penjaminan kesehatan &
keselamatan kerja
Selain hak-hak diatas, dalam bisnis
modern sekarang ini semakin dianggap penting bahwa para pekerja dijamin
keamanan, keselamatan, dan kesehatannya. Lingkungan kerja dalam industri modern
khususnya yang penuh dengan berbagai risiko tinggi mengharuskan adanya jaminan
perlindungan atas keamanan, keselamatan dan kesehatan bagi para pekerja.
Beberapa hal yang perlu dijamin dalam kaitan dengan hak atas keamanan,
keselamatan, dan kesehatan ini. Pertama, setiap pekerja berhak mendapat
perlindungan atas keamanan, keselamatan dan kesehatan melalui program jaminan
atau asuransi keamanan dan kesehatan yang diadakan perusahaan itu.
Kedua, setiap pekerja berhak mengetahui
kemungkina resiko yang akan dihadapinya dalam menjalankan pekerjaannya dalam
bidang tertentu dalam perusahaan tersebut. Karena itu, perusahaan harus
memberikan informasi serinci mungkin tentang kemungkinan-kemungkinan risiko,
bentuk, dan lingkupnya serta kompensasi (bentuk dan jumlahnya) yang akan
diterimanya atau keluarganya harus sudah diketahui sejak awal. Ini perlu untuk
mencegah perselisihan untuk mencegah kemungkinan perusahaan dituntut oleh
pekerja dan keluarganya, juga di maksudkan untuk mencegah pekerja dicurangi
dalam pemberian kompensasi tersebut.
Ketiga, setiap pekerja bebas untuk
memilih dan menerima pekerjaan dengan resiko yang sudah diketahuinya itu atau
sebaliknya menolaknya.Dengan kata lain, pekerja tidak boleh dipaksa atau
terpaksa untuk melakukan suatu pekerjaan penuh resiko.Karena itu, setelah dia
mengetahui resiko dan kompensasinya, ia harus secara terbuka menerima atau
menolaknya tanpa paksaan apa pun.
-
Pemberian gaji atau konvensasi
secara adil
Perusahaan hendaknya juga
mendistribusikan gaji secara adil terhadap seluruh karyawannya. Hendaknya
perusahaan tidak hanya menggunakan evaluasi kinerja saja untuk menentukan gaji
para karyawannya, tapi akan lebih etis lagi apabila perusahaan juga ikut memperhitungkan
berapa kepala yang bergantung pada sang karyawan tersebut.
Hak atas upah yang adil merupakan
hak legal yang diterima dan dituntut seseorang sejak ia mengikat diri untuk
bekerja pada suatu perusahaan. Karena itu, perusahaan yang bersangkutan mempunyai
kewajiban untuk memberikan upah yang adil. Dengan hak atas upah yang adil
sesungguhnya ditegaskan dalam tiga hal. Pertama, bahwa setiap pekerja
mendapatkan upah. Artinya, setiap pekerja berhak mendapatkan upah.
Kedua, setiap orang tidak hanya
berhak memperoleh upah. Ia juga berhak untuk memperoleh upah yang adil, yaitu
upah yang sebanding dengan tenaga yang telah disumbangkannya. Ketiga, hak atas
upah yang adil adalah bahwa pada prinsipnya tidak boleh ada perlakuan yang
berbeda atau diskriminatif dalam soal pemberian upah kepada semua karyawan.
E. Kebutuhan timbal balik karyawan dan perusahaan
Hak merupakan topik yang masih agak
baru dalam literature etika umum. Sebaliknya pembahasan tentang kewajiban
mempunyai tradisi yang sudah lama sekali. Dalam buku etika sejak dulu banyak
dibicarakan tentang kewajiban terhadap Tuhan, agama, raja/penguasa, negara atau
kelompok khusus dimana orang menjadi anggota (keluarga, kalangan profesi, dan
sebagainya).
Ada seorang filosof yang berpendapat
bahwa selalu ada hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban. Pandangan yang
disebut “teori korelasi” itu terutama dianut oleh pengikut utilitarisme.
Menurut mereka, setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain dan
sebaliknya setiap hak seseorang berkaitan dengan kewajiban orang lain untuk
memenuhi hak tersebut. Mereka berpendapat bahwa dapat berbicara tentang hak
dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi. Hak yang tidak ada kewajiban sesuai
tidak pantas disebut ” hak “.[6]
Karena hubungan
antara tenaga kerja dan perusahaan merupakan hubungan timbal-balik maka ketika
salah satu pihak mengerjakan kewajiban mereka maka hak pihak lainnya akan
terpenuhi, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu pada tulisan kali ini hanya
akan memberikan penjabarkan kewajiban kedua belah pihak, yang mana jika
kewajiban-kewajiban itu dilaksanakan maka hak masing-masingpun akan terpenuhi.[7]
Konsekuensi lain yang dimiliki seorang karyawan
apabila dia bekerja di dalam sebuah perusahaan adalah dia harus memiliki
loyalitas terhadap perusahaan. Dia harus mendukung tujuan-tujuan dan visi-misi
dari perusahaan tersebut. Karyawan yang sering berpindah-pindah pekerjaan
dengan harapan memperoleh gaji yang lebih tinggi dipandang kurang etis karena
dia hanya berorientasi pada materi belaka. Ia tidak memiliki dedikasi yang
sungguh-sungguh kepada perusahaan di tempat dia bekerja. Maka sebagian perusahaan
menganggap tindakan ini sebagai tindakan yang kurang etis bahkan lebih ekstrim
lagi mereka menganggap tindakan ini sebagai tindakan yang tidak bermoral.
Terakhir, perusahaan hendaknya juga tidak bertindak
semena-mena dalam mengeluarkan karyawan.
-
Perusahaan hanya boleh
memberhentikan karyawan karena alasan yang tepat.
-
Perusahaan harus berpegang teguh
pada prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya.
-
Perusahaan harus membatasi akibat
negative bagi karyawan sampai seminimal mungkin.
BAB
III
KESIMPULAN
Etika
Kerja merupakan totalitas kepribadian diri serta cara mengekspresikan,
memandang, meyakini, dan memberikan sesuatu yang bermakna, yang mendorong
dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high performance).
Etika
Kerja Muslim didefenisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan
yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya,
menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal
sholeh.
Hak
dan kewajiban karyawan kepada perusahaan meliputi :
1. Kewajiban ketaaatan
2. Kewajiban konfidensialitas
3. Kewajiban Loyaitas
4. Melaporkan kesalahan perusahaan
Hak dan kewajiban
perusahaan terhadap karyawan, meliputi :
1. Tidak bertindak diskriminatif
2. Penjaminan kesehatan dan keselamatan kerja
3. Pemberian gaji (kompensasi)
secara adil
Kebutuhan
timbal balik karyawan dan perusahaan selalu ada hubungan timbal balik
antara hak dan kewajiban. setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang
lain dan sebaliknya setiap hak seseorang berkaitan dengan kewajiban orang lain
untuk memenuhi hak tersebut. Mereka berpendapat bahwa dapat berbicara tentang
hak dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi. Hak yang tidak ada kewajiban
sesuai tidak pantas disebut ” hak “.Karena hubungan
antara tenaga kerja dan perusahaan merupakan hubungan timbal-balik maka ketika
salah satu pihak mengerjakan kewajiban mereka maka hak pihak lainnya akan
terpenuhi, begitu juga sebaliknya.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Ernawan , Erni R, Business Ethics,Bandung:Alfabeta,2007
·
Bertens K., Etika,Jakarta: PT. Gramedia Pustaka 1992
·
Keraf, A. Sonny, Hukum Kodrat dan
Teori Hak Milik Pribadi,Yogyakarta: Kanisius, 1997