ARTIKEL
KEWARISAN ORANG MAQFUD & ORANG YANG MATI BERSAMA
Disusun untuk
Memenuhi Tugas Mandiri Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah FIQIH MAWARIS
Tahun Akademik
2012/2013
Dosen Pengampu: Nurul
Ma’rifah, M.Si
Disusun oleh :
AMALIYANAH
SYARI’AH/
Muamalah - 2/ SMT 3
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI CIREBON
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan,
banyak sekali kejadian yang menimpa alam, namun sedikit orang yang menaruh
perhatian keadanya. Manusia sering dilanda berbagai macam bencana dan peristiwa
demi peristiwa yang terkadang meresahkan, yang tidak dapat ditolak. Kebenaran
seolah-olah tiada artinya dan disapu bersih oleh tragedi yang menimpa. Bagi
orang mukmin, mereka akan berpegang teguh pada keimanan, dan mengembalikan
kepada Allah yang Maha Kuasa bahwa itu semua tidak lepas dari takdir-Nya.
Begitulah
kehidupan dunia yang selalu silih berganti. Kadang-kadang manusia tertawa dan
merasa lapang dada tetapi dalam sekejap keadaan dapat berubah sebaliknya. Oleh
karenanya tidak ada sikap yang lebih baik kecuali berlaku sabar dan berserah
diri kepada-Nya. Bukan sesuatu yang mustahil jika dalam suatu waktu dua orang
bersaudara atau ayah dan anak bepergian bersama-sama menggunakan pesawat
terbang atau kapal laut dan mengalami kecelakaan atau salah satu dari mereka
hilang. Atau mungkin saja terjadi bencana alam yang mengakibatkan rumah yang
mereka huni runtuh, sehingga sebagian anggota keluarga mereka menjadi korban.
Maka jika di antara mereka ada yang mempunyai keturunan, tentulah akan muncul
persoalan dalam kaitannya dengan kewarisan. Misalnya bagaimana cara pelaksanaan
pemberian hak waris kepada masingmasing ahli waris?[1]
B. Rumusan Masalah
- Apa pengertian mafqud dan bagaimana cara pembagiannya?
- Apa pengertian orang yang mati bersama dan bagaimana cara pembagiannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mafqud dan Cara
Pembagiannya
Kata mafqud
dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti
hilangMenurut para Faradhiyun mafqud itu diartikan dengan orang yang
sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya,
dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya. Selain itu, ada yang mengartikan
mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak diketahui apakah
ia masih hidup atau sudan meninggal. Dalam pembahasan ulama fikih, penentuan
status bagi mafqud, apakah ia masih hidup atau telah wafat amatlah
penting, karena menyangkut beberapa hak dan kewajiban dari si mafqud
tersebut serta hak dan kewajiban keluarganya sendiri.[2]
Menyangkut
status hukum orang yang hilang ini para ahli hukum Islam menetapkan bahwa istri
orang yang hilang tidak boleh dikawinkan, harta orang yang hilang tidak boleh
diwariskan, hak-hak orang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan.[3]
Para ulama fikih telah sepakat bahwa yang berhak untuk menetapkan status
bagi orang hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang
hilang telah wafat atau belum. Ada
dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari kejelasan
status hukum bagi si mafqud yaitu:[4]
- Berdasarkan bukti-bukti yang otentik yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum, sebagaimana dalam kaidah “yang tetap berdasarkan bukti bagaikan yang tetap berdasarkan kenyataan”.
Misalnya,
ada dua orang yang adil dan dapat dipercaya untuk memberikan kesaksian bahwa si
fulan yang hilang telah meninggal dunia, maka hakim dapat menjadikan dasar
persaksian tersebut untuk memutuskan status kematian bagi si mafqud.
Jika demikian halnya, maka si mafqud sudah hilang status mafqudnya.
Ia ditetapkan seperti orang yang mati hakiki.
- Berdasarkan tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau berdasarkan kadaluwarsa.
Para ulama berbeda pendapat perihal tenggang waktu untuk
menghukumi atau menetapkan kematian bagi si mafqud yaitu:
- Imam Malik dalam salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang diperbolehkan bagi hakim memberi vonis kematian si mafqud ialah empat tahun. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan Umar bin Khattab yang menyatakan: “Setiap isteri yang ditinggalkan oleh suaminya, sedang dia tidak mengetahui dimana suaminya, maka ia menunggu empat tahun, kemudian dia ber’iddah selama empat bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah dia….” (HR. Bukhari)
- Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Abu Yusuf dan Muhamad bin al-Hasan berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh hakim bila sudah tidak ada kawan sebayanya yang masih hidup. Secara pasti hal tersebut tidak dapat ditentukan. Oleh sebab itu, beliau menyerahkan kepada ijtihad hakim. Hakim dapat memberi vonis kematian si mafqud menurut ijtihad-nya demi suatu kemashalatan.
- Abdul Malik Ibnul-Majisyun mefatwakan agar si mafqud tersebt mencapai umur 90 tahun beserta umur sewaktu kepergiannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun. Beliau menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang berbunyi “Umur-umur umatku itu antara 70 dan 60 tahun.”
- Imam Ahmad berpendapat bahwa di dalam menetapkan status hukum bagi si mafqud, hakim harus melihat situasi hilangnya si mafqud tersebut. manurut beliau situasi hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas dua situasi:
a)
Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan membawa malapetaka
misalnya dalam situasi naik kapal tenggelam yang kapalnya pecah dan sebagian
penumpannya telah tenggelam atau dalam situasi peperangan, maka setelah
diadakan penyelidikkan oleh hakim secermat-cermatnya, hakim dapat menetapkan
kematiannya setelah lewat empat tahun lamanya.
b)
Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai membawa malapetaka.
misalnya pergi untuk menuntut ilmu, ibadah haji, dan sebaginya, tetapi kemudian
ia tidak kembali dan tidak diketahui kabar beritanya lagi dan dimana
domisilinya, maka dalam hal seperti itu diserahkan kepada hakim untuk
menetapkan status bagi si mafqud menurut ijtihad-nya.[5]
Walaupun
demikian, praktek pelaksanaannya di pengadilan agama, bahwa mengenai ada atau
tidaknya kewenangan untuk menetapkan atau menghukumi status bagi mafqud tersebut
dengan menyatakan ia telah meninggal atau belum masih bersifat masih dapat
diperdebatkan. Permasalahan
yang berkenaan dengan kewarisan hingga saat ini belum ada ketentuan-ketentuan
kapan seseorang yang hilang dapat ditentukan statusnya. Oleh karena itu, dalam
menetapkan status bagi si mafqud diperlukan suatu pembuktian yang sangat
cermat. Lalu yang menjadi permasalahan, kapan harta si mafqud dapat
diwarisi oleh para ahli warisnya. Menurut para ulama setelah hakim
memutuskan si mafqud telah meninggal dunia pada suatu tanggal yang
ditentukan berdasarkan pada dalil-dalil yang menimbulkan dugaan kuat
kematiannya, maka mafqud itu dipandang meninggal dunia pada waktu
keluarnya penetapan hakim.[6]
- Contoh kasus
Seorang
wanita wafat, meninggalkan ahli waris: suami, ibu, dua saudara perempuan
sebapak dan saudara laki-laki sebapak yang hilang. Si mayit meninggalkan harta
sebesar 48 juta berapakah jumlah harta warisan yang diperoleh setiap ahli waris
dan berapakah jumlah harta warisan yang ditangguhkan pembagiannya untuk orang
yang hilang?[7]
- Jika orang yang hilang (saudara laki-laki sebapak) diperkirakan masih hidup.
- Suami = 1/2 x 6 = 3 x 48 jt / 6 = 24.000.000
- Ibu = 1/6 x 6 = 1 x 48 jt / 6 = 8.000.000
- Dua saudara pr sbpk
A 6 – 4 = 2 x 48 jt / 6 = 16.000.000
- Saudara lk2 sebapak
2: 1 = 3
2/3 x 16 jt = 10.666.666
1/3 x 16 jt = 5.333.333
- Kedua jika orang yang hilang (saudara laki-laki sebapak) diperkirakan sudah meninggal
- Suami = 1/2 x 6 = 3 x 48 jt / 8 = 18.000.000
- Ibu = 1/6 x 6 = 1 x 48 jt / 8 = 6.000.000
- Dua saudara pr sbpk = 2/3 x 6 = 4 x 48 jt / 8 = 24.000.000[8]
Dengan demikian harta peninggalan mafqud diwariskan
oleh ahli waris yang ada pada waktu itu. Para ahli waris yang telah meninggal
dunia sebelum adanya penetapan hakim tidak mewarisinya karena tidak
terpenuhinya syarat kewarisan, yaitu meninggalnya si pewaris baik secara hakikatnya
(mati hakiki) maupun mati secara hukum. Oleh karena itu, harta warisan yang
sudah dibagi dan ketika si mafqud hadir kembali sudah melampaui empat
tahun, maka ia tidak bisa meminta kembali harta warisan yang sudah dibagikan.
Apabila si mafqud hadir sebelum empat tahun, maka ia dapat memintakan
kembali harta yang belum dipakai oleh ahli warisnya yang merupakan harta warisan.[9]
B. Warisan Orang
Yang Mati Bersama
dan Cara Pembagiannya
Dalam
menentukan warisan bagi orang yang tenggelam atau tertimpa bencana, terlebih
dahulu karena harus diperhatikan siapa yang terlebih dahulu meninggal dunia.
Apabila diketahui orang yang terlebih dahulu meninggal, hukumnya sudah jelas,
yaitu orang yang mati kedua, dapat mewarisi harta waris orang pertama, baik
sendirian (apabila orang pertama tidak meninggalkan ahli waris lain) atau
bersama (bila ada ahli waris lain). Setelah orang yang kedua meninggal, harta
warisannya berpindah kepada ahli waris orang yang kedua, begitu seterusnya.
Jadi, apabila ada dua orang bersaudara tenggelam dan salah seorang mati
terlebih dahulu, sedangkan yang lainnya beberapa saat kemudian, saudranya yang
terakhir mati berhak mendapat warisan orang yang mati terlebih dahulu, walaupun
tenggang waktunya hanya sekejap. Hal tersebut karena syarat-syarat kewarisan
telah terpenuhi, yaitu ahli warisnya benar-benar hidup setelah mewaris-nya
meninggal dunia.
Namun
jika sama-sama mati tenggelam, atau sama-sama mati terbakar dan tidak diketahui
siapa yang mati terlebih dahulu, di antara mereka tidak boleh saling mewarisi.
Kasus inilah yang dimaksud oleh para ahli fiih dengan mengatakan, ”Tidak
boleh saling mewarisi di antara orang-orang yang sama-sama mati tenggelam dan
orang-orang yang sama-sama mati tertimpa bencana, dan tidak boleh saling
mewarisi di antara para ahli waris yan tertimpa malapetaka”.
Alasan yang
menjadi penyebab mereka tidak saling mewarisi karena syarat-syarat waris (siapa
muwaris dan siapa ahli waris) tidak jelas. Dengan demikian, masing-masing harta
warisan mereka diberikan kepada masing-masing ahli warisnya yang masih hidup.
Salah seorang di antara mereka tidak boleh saling mewarisi satu sma lain. Dikatakan
dalam kitab Rahbiyyah bahwa, apabila suatu kaum mati tertimpa bencana,
atau tenggelam atau malapetaka lainnya yang biasa terjadi, seperti kebakaran,
dan tidak diketahui siapa di antara mereka yang meninggal terlebih dahulu, di
antara mereka yang binasa ini tidak boleh saling mewarisi dan mereka dianggap
sebagai bukan keluarganya.[10]
Yang dimaksud
dengan orang yang mengalami kematian bersama adalah orang-orang yang dapat
saling waris-mewarisi (memiliki hubungan kerabat), dimana mereka mengalami
kecelakaan dalam satu waktu bersamaan, bisa disebabkan karena bencana alam,
kebakaran, tabrakan kendaraan, tsunami, gempa bumi, tanah longsor, tenggelam,
tertimbun, ataupun hal-hal lainnya. Kaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris untuk orang
yang mengalami kematian bersama adalah dengan cara menentukan mana di antara
mereka yang lebih dahulu pertama kali dan yang meninggal kemudian. Hal ini bisa
diketahui dengan cara bertanya kepada orang yang menyaksikan, atau adanya salah
seorang atau lebih dari mereka yang selamat dari bencana tersebut yang
menyaksikan siapa yang paling dulu meninggal, lalu siapa yang hidup kemudian
walaupun hidupnya itu hanya sesaat saja. Jika memang keadaannya demikian,
pembagian waris akan lebih mudah dilaksanakan, yakni dengan memberikan hak
waris kepada orang yang meninggal kemudian. Setelah orang kedua (yang meninggal
kemudian) meninggal, maka kepemilikan harta waris tadi berpindah kepada ahli
warisnya yang berhak dan begitulah seterusnya.
Namun jika
diketahui bahwa mereka meninggal sekaligus, maka mereka tidak dapat saling
waris-mewarisi, karena syarat menerima warisan adalah ahli waris dalam keadaan
hidup ketika si pemilik harta meninggal, baik meninggal yang hakiki ataupun
yang dihukumkan sudah meninggal. Dan syarat ini tidak ada pada kejadian di
atas. Begitu pula jika kita tidak mengetahui bagaimana kematian itu
terjadi apakah ia berurutan atau sekaligus, atau bisa jadi kita
mengetahui bahwa mereka meninggal secara beruntun, hanya saja tidak diketahui
dengan jelas siapa yang lebih dahulu, atau kita mengetahui siapa yang terakhir,
hanya kita lupa siapa orangnya, maka terhadap keadaan-keadaan seperti ini,
menurut imam Hanafi, Maliki dan Hanbali tidak dapat saling mewarisi.[11]
Sedangkan menurut
Imam Syafi’i jika kita atau saksi lupa urutan siapa yang meninggal pertama dan
siapa yang meninggal kemudian hingga yang meninggal paling terakhir, maka
perkara seperti ini harus ditunda dahulu hingga teringat atau saling berdamai.
Sedangkan menurut madzhab Imam Ahmad, apabila antara ahli waris berselisih
pendapat siapa yang lebih dahulu meninggal sementara masing-masing tidak
memiliki bukti, maka mereka harus saling bersumpah seterusnya mereka tidak lagi
saling mewarisi karena tidak ada faktor yang dapat menguatkan. Apabila tidak ada perbedaan pendapat
di kalangan ahli waris, maka masing-masing ahli waris mendapat bagian dari
harta yang ditinggalkan tidak termasuk harta yang diterimanya sebagai warisan,
hal itu demi mencegah terjadinya mata rantai yang tidak diketahui ujung
pangkalnya.
Jadi menurut pendapat jumhur ulama yang dapat saling
mewarisi adalah orang-orang yang mati secara berurutan, dengan diketahui siapa
yang mati pertama kali dan yang mati kemudian. Sebagai contoh, apabila dua
orang bersaudara tenggelam secara bersamaan lalu yang seorang meninggal
seketika dan yang seorang lagi meninggal setelah beberapa saat kemudian, maka
yang mati kemudian inilah yang berhak menerima hak waris, sekalipun masa
hidup yang kedua hanya sejenak setelah kematian saudaranya yang pertama.
Menurut para ulama ahli faraid hal ini telah memenuhi syarat hak
mewarisi, yaitu hidupnya ahli waris pada saat kematian pewaris.
Sedangkan jika
keduanya sama-sama tenggelam atau terbakar secara bersamaan kemudian mati tanpa
diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka tidak ada hak waris di antara
keduanya atau mereka tidak saling mewarisi. Hal ini sesuai dengan kaidah yang
telah ditetapkan oleh ulama faraidh yang menyebutkan: “Tidak ada hak saling
mewarisi bagi kedua saudara yang mati karena tenggelam secara bersamaan, dan
tidak pula bagi kedua saudara yang mati karena tertimbun reruntuhan, serta yang
meninggal seketika karena kecelakaan dan bencana lainnya”. Hal demikian, menurut para ulama,
disebabkan tidak terpenuhinya salah satu persyaratan dalam mendapatkan hak
waris. Maka seluruh harta peninggalan yang ada segera dibagikan kepada ahli
waris dari kerabat yang masih hidup.[12]
- Contoh 1
Dua
orang kakak adik (sama-sama laki-laki) meninggal secara bersamaan karena
kecelakaan, yakni kakak dan adik sama-sama meninggal seketika dalam waktu yang
bersamaan, tanpa diketahui siapa yang pertama kali meninggal. Kakak
meninggalkan istri, anak perempuan, dan anak laki-laki dari paman sekandung.
Sedangkan adik meninggalkan dua anak perempuan, dan anak laki-laki dari paman
sekandung. Maka pembagiannya seperti berikut: Para ahli waris kakak, yakni
istri mendapat 1/8 bagian, anak perempuan mendapat 1/2, dan sisanya untuk anak
laki-laki dari paman sekandung sebagai ashabah. Sedangkan para ahli waris adik,
yakni kedua anak perempuan mendapat 2/3, dan sisanya merupakan bagian anak
laki-laki dari paman sekandung sebagai ashabah.[13]
- Contoh 2
Dua
orang kakak adik (sama-sama laki-laki) meninggal terkena bencana tsunami,
dimana sang adik meninggal pertama kali, setengah jam kemudian disusul oleh
sang kakak ikut pula meninggal. Sang adik meninggal dengan meninggalkan ahli
waris seorang isteri, anak perempuan, saudara sekandung laki-laki yang
meninggal bersamanya (sang kakak) dan paman seayah. Sementara si kakak
meninggal dengan meninggalkan ahli waris dua orang anak perempuan dan paman
seayah. Bagaimanakah pembagian warisnya?
- Tahap pertama, kita hitung pembagian untuk ahli waris pertama sebagai berikut: Isteri mendapat 1/8, anak perempuan mendapat 4/8, saudara sekandung laki-laki (sang kakak) mendapat 3/8, sedangkan paman seayah tidak mendapat apa-apa karena terhalang oleh saudara sekandung laki-laki.
2. Tahap kedua, kita hitung bagian
untuk ahli waris yang kedua sebagai berikut: Dua orang anak perempuan mendapat
2/3 dari 3/8 dan paman seayah mendapat 1/3 dari 3/8. Maka dua orang anak
perempuan mendapat 6/24 dan paman seayah mendapat 3/24.
3. Tahap ketiga, tentukan KPK dari 8
dan 24. Maka diketahui KPK nya adalah 24, karena ia dapat dibagi dengan
bilangan 8 dan 24 tanpa menghasilkan sisa.
4. Tahap keempat, kita hitung total
bagian untuk semua ahli waris (jami’ah), yakni dari ahli waris yang pertama
hingga ahli waris yang kedua sebagai berikut:
- Istri: 1/8 x 3/3 = 3/24
- Anak perempuan: 4/8 x 3/3 = 12/24
- Saudara sekandung laki-laki tidak mendapat apa-apa, ahli warisnya-lah yang mendapat, dengan pembagiannya sebagai berikut:
- Dua orang anak perempuan: 6/24
- Paman seayah: 3/24
Pembagian warisan diatas diambil hanya dari harta milik
pewaris pertama. Seandainya pewaris kedua memiliki harta warisan tersendiri,
maka ahli waris kedua mendapat bagian lain yang besarnya tidak dipengaruhi oleh
ahli waris dari pewaris pertama. Yakni dua orang anak perempuan mendapat 2/3
dan paman seayah mendapat 1/3, yang diambil dari harta warisan yang murni milik
pewaris kedua (tanpa dicampur dengan bagian dari pewaris pertama). Jadi ahli
waris dari pewaris kedua mendapat pembagian warisan sebanyak dua kali.[14]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Kata mafqud
dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti
hilangMenurut para Faradhiyun mafqud itu diartikan dengan orang yang
sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya,
dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya. Dan menyangkut status hukum
orang yang hilang ini para ahli hukum Islam menetapkan bahwa istri orang yang
hilang tidak boleh dikawinkan, harta orang yang hilang tidak boleh diwariskan,
hak-hak orang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan.
Yang dimaksud
dengan orang yang mengalami kematian bersama adalah orang-orang yang dapat
saling waris-mewarisi (memiliki hubungan kerabat), dimana mereka mengalami
kecelakaan dalam satu waktu bersamaan, bisa disebabkan karena bencana alam,
kebakaran, tabrakan kendaraan, tsunami, gempa bumi, tanah longsor, tenggelam,
tertimbun, ataupun hal-hal lainnya. Kaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris untuk orang
yang mengalami kematian bersama adalah dengan cara menentukan mana di antara
mereka yang lebih dahulu pertama kali dan yang meninggal kemudian.
Daftar
Pustaka
Aldizar
Addys, Hukum Waris, Jakarta, Senayan Abadi Publishing, 2004
Ali,Prof.
H. Mohammad Daud. Hukum
Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1991
Aziz
Abdul, Ensiklopedia Hukum Islam I, Jakarta Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997
Hasan
M. Ali, Hukum Warisan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1996
Lubis
Suhrawardi K., Simanjuntak Komis, Hukum Waris Islam: Lengkap dan Praktis,
Jakarta, Sinar Grafika, 2007
Saebani Drs. Beni Ahmad, M.Si. Fiqh Mawaris, Bandung,CV.Pustaka
Setia, 2009
Shiddieqy
Hasbi Ash –, T. M, Fiqhul Mawaris, Jakarta, Bulan Bintang, 1973
[1] M.
Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996),
hal. 7
[2]
Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam I, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal. 45
[3] Suhrawardi
K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam: Lengkap dan Praktis,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 66
[4]
Prof. H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1991), hal. 243.
[5] Prof.
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia.......hal.
244-245
[7] Addys
Aldizar, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), hal.
381
[9] Suhrawardi
K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam: Lengkap dan Praktis............... hal. 70
[10] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Fiqh
Mawaris, CV.Pustaka Setia: Bandung, tahun 2009 hal 235-236
[11]
Hasbi Ash – Shiddieqy, T. M, Fiqhul Mawaris,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar